ISLAM DAN KEBUDAYAAN

Tingkatan mutu keyakinan atas suatu kebenaran (termasuk ke dalamnya keyakinan agama), terkait pada mutu tiga potensi yang dimiliki seseorang, yakniilmu, kehendak, dan kekuatan. Dari ketignya, lahir kebudayaan dalam bentuk ikhtiyar berdasarkan pengertian, dorongan bertindak, dan tindakan, yang secara subjektif dianggap terbaik.  Akumulasi pengalaman ikhtiyar ini melahirkan  metode dan pendekatan, sebagai cara terbaik untuk mencapai tujuan. Dalam pada itu, Agama Islam sebagaimana diajarkan Rasulullah saw terdiri atas dimensi keyakinan (iman), amalan lahir (Islam), dan kualitas perpaduan keyakinan dan amalan (ihsan). Ketiganya merupakan satu kesatuan (diin, agama) yang tidak dapat dipisahkan. Inilah hakikat beragama, yakni kesatuan hubungan kompleks antar ketiga dimensi tersebut. Implikasinya, hakikat mutu amalanseorang muslim pun ditandai oleh mutu kesatuan keimanan, keislaman dan keihsanannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kaitan inilah tinggi rendahnya ekspressi keberagamaan seseorang, terlihat dari tingkatan ekspressi budayanya.

Jika kita lihat ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah Swt., maka akan terlihat semangat untuk membuka diri terhadap peradaban luar. Dalam surat Al-Hujarat ayat 13 disebutkan “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al Hujurat : 13)

Kata kunci dari ayat tersebut adalah “lita’arafu” saling mengenal. Islam sudah memandang dirinya sebagai agama yang membuka diri dengan agama-agama lain dan dengan produk-produk kebudayaan manusia yang lain. Karena kita diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Oleh karena itu Islam tidak bisa menutupi dari dari bayang-bayang produk-produk kebudayaan manusia lainnya.

Agama, sebagaimana dinyatakan banyak kalangan dapat dipandang sebagai instrument ilahiah untuk memahami dunia. Islam, bila dibandingkan dengan agama-agama lain sebenarnya merupakan agama yang paling mudah untuk menerima premis semacam ini. Alasan utamanya terdapat pada ciri Islam yang paling menonjol, yaitu yang sifatnya yang hadir dimana-mana” (omnipresence). Ini sebuah pandangan yang mengakui bahwa “dimana-mana” kehadiran Islam selalu memberikan panduan moral yang benar bagi tindakan manusia.

Menurut Jalaluddin Rahmat, keberagamaan seseorang terdiri dari lima aspek, yaitu : 1) Religious Practice (the ritualistic dimension). Tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di dalam agamanya, seperti shalat, zakat, puasa dan sebagainya; 2) Religious belief (the ideological dimension). Sejauh mana orang menerima hal-hal yang dogmatik di dalam ajaran agamanya. Misalnya kepercayaan tentang adanya Tuhan, malaikat, kitab-kitab, Nabi dan Rasul, hari kiamat, surga, neraka dan yang lain-lain yang bersifat dogmatik; 3) Religious Knowledge (the intellectual dimension). Seberapa jauh seseorang mengetahuai tentang ajaran agamanya. Hal ini berhubungan dengan aktivitas seseorang untuk mengetahui ajaran-ajaran dalam agamanya; 4) Religious feeling (the experiental dimension). Dimensi yang terdiri dari perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dirasakan dan dialami. Misalnya seseorang merasa dekat dengan Tuhan, seseorang merasa takut berbuat dosa, seseorang merasa doanya dikabulkan Tuhan, dan sebagainya. Dan 5) Religious effect (the consequential dimension). Dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasikan oleh ajaran agamanya di dalam kehidupannya.

Dilihat dari segi Agama dan Budaya yang masing-masing memiliki keeratan satu sama lain, sering kali banyak di salah artikan oleh orang -orang yang belum memahami .bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi Budaya pada suatu kehidupan. Penulis masih sering menyaksikan adanya segelintir masyarakat yang mencampur adukkan nilai-nilai Agama dengan nilai-nilai Budaya yang padahal kedua hal tersebut tentu saja tidak dapat seratus persen disamakan, bahkan mungkin berlawanan.

Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama.

Agama banyak mempengaruhi corak kebudayaan suatu bangsa. Itu telah dibuktikan oleh sejarah. Kebudayaan, apakah itu primitif  maupun yang maju, tidak terlepas dari pengaruh agama yang hidup di masyarakat bersangkutan. Bahkan banyak kebudayaan yang berkembang terutama karena didorong oleh agama. Sebagai contoh dapat disebut kebudayaan Mesir di zaman Fir’aun, kebudadayaan India, dan Kebudayaan Islam. Di Negara Indonesia kebudayaan daerah juga tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh agama.

Wajar bila agama mempengaruhi kebudayaan. Tetapi kalau agama dipengaruhi kebudayaan, maka akan terdengar agak ganjil, karena agama adalah wahyu tuhan yang bersifat absolute. Sedangkan sebaliknya, kebudayaan adalah hasil pemikiran manusia yang bersifat relatif. Tetapi bagaimanapun tidak bisa disangkal bahwa agama dan kebudayaan saling mempengaruhi. Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Agama adalah mutlak ciptaan Allah SWT yang hakiki oleh karena itu agama dijamin akan kefitrahannya, kemurniannya, kebenarannya, kekekalannya, dan konstanta atau tidak dapat dirubah oleh manusia sampai kapanpun. Sedangkan kebudayaan adalah hasil cipta, karya, rasa, karsa dan akal buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidupnya, dimana kebudayaan itu sendiri akan mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, penulis menekankan kepada pembaca bahwa antara masyarakat, agama dan budaya meski memiliki hubungan namun tidak dapat dicampur adukan.

Leave a Reply

twenty − eight =